Mie gomak adalah makanan khas sumatera utara, makanan yang terkenal sebagai masakan khas daerah dari tanah Batak Toba, meliputi semua daerah Batak Toba, dan juga menjadi masakan khas di Sibolga dan Tapanuli. Makanan ini sudah menjadi makanan kesukaan atau favorit orang yang memiliki stereotip blak-blakan, bersuara keras dan terlihat kasar, tetapi apa yang menghubungkan dengan orang Jawa barat yang memiliki stereotip bertutur halus, santun, dan ramah? Dibalik kedua setereotip ini ternyata ada hal yang menyatukan mereka, yaitu pada makanan.
Di suatu tempat di salah satu daerah Bandung, Sarijadi terdapat sebuah tempat warung makan yang sederhana yang bertuliskan”Mie Gomak” dan berbagai menu variasi mienya. Di sana hanya terdapat dua meja dan empat kursi memanjang, dan tempat memasak yang kecil yang menghiasi tempat makan itu. Tidak ada yang spesial jika dipandang secara kasat mata. Di tempat itu penulis menyempatkan diri untuk bersantai dan menikmati makanan khas Sumatera utara ini, namun selain menikmati makanan, ada suatu hal yang menggelitik rasa penasaran penulis di saat berbincang-bincang dengan pemilik tempat makan tersebut. Suatu fenomena “akulturasi” terjadi antara orang “medan” dan orang “sunda”.
Pemilik tempat makan menceritakan bahwa makanan yang Dia sediakan disajikan untuk semua kalangan, yaitu dalam hal bertoleransi. Dia menceritakan, bahwa penikmat makanannya tidak hanya di kalangannya sendiri, tetapi dinikmati juga oleh warga bandung lain seperti orang Sunda, Jawa dan lain-lainnya. Cerita itu dihiasi dengan fenomena nyata dari pandangan langsung penulis, perbincangan antara pengemudi transportasi umum Bandung jurusan Sarijadi-St Hall yang menggunakan bahasa khas bandung yaitu bahasa Sunda, yang dibalas oleh pemilik tempat makan dengan bahasa Sunda juga yang bernuansa logat Medan. Fenomena itu menggelitik sedikit penulis yang memperhatikan perbincangan mereka. Orang Sunda yang santai seperti berbicara dengan teman akrabnya dengan dibalas dengan temannya yang orang Batak yang berbahasa Sunda dengan logat Medannya. “TEU KADIE TEU KADIE TEU KADIE...” sahut pemilik tempat makan itu kepada temannya.
Fenomena ini terjadi pada lingkup pengemudi angkot Bandung yang saling membaur, antara Batak, Sunda, dan juga Jawa, yang dipersatukan dengan bahasa Sunda dengan versi mereka masing-masing (logat). Suka duka sebagai pengemudi transportasi umum bandung membuat mereka membaur, hingga dalam lingkup dapur (makanan).
Tawa dan senyum mereka memberi warna kehidupan dibalik susahnya kehidupan dan konflik yang terjadi yang kita lihat di media tivi, mengingatkan kita bahwa kita juga sama-sama lapar, dan makanan membuat kita berkumpul bersama.
Mie seporsi tidak lebih dari 10ribu (tahun 2015), untuk rasa makanan ini dibuat dengan cinta, bukan masakan yang asal-asalan, cocok untuk yang suka nongkrong di kedai sederhana sambil ngopi.
No comments:
Post a Comment